Nama : Rizky Abu Rizal
NPM : 16110157
Kelas : 2KA25
BAB 1
LATAR BELAKANG
Kalau kita
mencermati berita di media akhir-akhir ini, kemungkinan akan membuat kecil hati
dan timbul kekawatiran. Akankah hari esok masih lebih baik? Bagaimana jika
tidak? Angka inflasi pada Maret 2008 dibanding dengan Maret 2007 (year on
year) mencapai 8,17 persen, padahal saat bulan Maret 2007 inflasi tahunan
hanya 6,6 persen. Pada bulan Maret 2008 angka inflasi sebesar 0,95 persen,
dengan demikian laju inflasi pada tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai
3,41 persen. Didalam komponen index inflasi umum, inflasi bahan pangan sudah
mencapai 13,6 persen.
Dari sisi
pasar keuangan, gejolak dimulai sejak krisis kredit kepemilikan rumah di
Amerika, yang telah membuat rugi puluhan miliar dollar Bank-bank internasional,
seperti: Citigroup, UBS, Merril Lynch dan BearStearns.
Kerugian Bank kelas dunia tersebut telah menyebabkan terjadi pengetatan di
pasar keuangan internasional. Inflasi sedang menjadi momok di seluruh dunia
karena kenaikan harga minyak bumi dan bahan pangan. Tren diversifikasi di
dunia, dari sumber energi minyak bumi ke energi dari bahan pangan, telah
menaikkan harga komoditas pangan, seperti: kelapa sawit, jagung dan gandum.
Di sektor
riil, meningkatnya inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat terutama yang
berpenghasilan rendah. Sekitar 60 persen atau bahkan lebih, dari pengeluaran
kalangan masyarakat ini akan tersedot untuk belanja makanan. Kenaikan harga
makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen, akan berdampak pada penurunan
kualitas hidup. Bagaimana dengan pengusaha skala kecil dan menengah?
BAB
2
PERMASALAHAN
2.1. BAGAIMANA TERJADINYA INFLASI?
Tingkat inflasi untuk bulan Oktober
2005 yang sangat tinggi itu (8,75%) masih membuat prihatin banyak kalangan.
Karena ada yang disebut core inflation, atau inflasi inti, oleh Bank Indonesia
yang besarnya sekitar 7-8% setahun maka kedua pengaruh inflasi ini secara
agregatip menimbulkan inflasi lebih dari 15% setahun. Maka arti inflasi harus
disikapi.
Arti atau
definisi umum dari inflasi adalah gejala kenaikan harga secara umum (artinya
semua harga terpengaruhi) oleh karena “terlalu banyak uang mengejar jumlah
barang yang jumlahnya tidak bertambah”. Inflasi dalam artian ini adalah gejala
effective demand yang terlalu besar, entah oleh karena akibat kebijakan fiskal
(anggaran belanja pemerintah) atau oleh kebijakan moneter dari bank sentral.
Misalnya, dalam masa pertama RI inflasinya tinggi sekali oleh karena kebijakan
fiskal terlalu “gampangan” (loose). Artinya, kalau pemerintah memerlukan uang
maka ditempuh jalan yang mudah, yakni cetak saja uang baru. Usaha untuk
mengumpulkan pajak baru merupakan usaha serius di zaman yang mutakhir. Pada
tahap berikutnya maka dalil untuk “mencetak saja uang kalau diperlukan
pemerintah” dikoreksi. Pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah
diusahakan dengan cara yang tidak langsung menuju ke pencetakan uang baru. Maka
pada tahap itu menarik pinjaman luar negeri menjadi jalan keluar yang sering
ditempuh oleh pemerintah. Ini sesuai dengan prinsip umum pembiayaan defisit
anggaran belanja pemerintah yang non-inflator, yakni berhutang saja dari luar
dan dalam negeri, atau/dan menjual asset negara. Menjual asset negara untuk
menutup defisit juga merupakan upaya yang lebih mutakhir, yakni dengan menjual
BUMN, entah sebagian sahamnya atau secara keseluruhan (privatisasi).
Bank Indonesia
sebagai bank sentral sekarang mempunyai misi tunggal, yakni menjaga nilai
rupiah, artinya sekuat tenaga berusaha mengekang inflasi. Kalau ada tekanan
inflasi yang meninggi maka BI menaikkan suku bunganya (BI rate atau SBI)
sehingga mengerem pengeluaran kredit baru oleh sistim perbankan. Akan tetapi
kalau inflasi tetap memuncak maka BI menghadapi dilema, seperti sekarang ini
juga.
Secara umum
terdapat dua jenis inflasi yakni kenaikan harga Indeks Harga Konsumen (IHK)
yang merupakan headline inflation dan inflasi inti (core inflation). Kenaikan
harga BBM merupakan faktor administered price atau kenaikan harga yang dipicu
oleh kebijakan pemerintah.
Masalahnya, salah satu yang bisa
memicu kenaikan inflasi inti itu adalah ekspektasi masyarakat akibat kenaikan
harga BBM. Yang terjadi seringkali kenaikan BBM diikuti dengan kenaikan harga
barang-barang dan jasa, termasuk yang tidak terkait langsung dengan kenaikan
BBM.
Pemerintah juga perlu menyalurkan sebagian dana untuk investasi infrastuktur. Sebab selama ini hal yang menaikkan inflasi IHK adalah ketidaklancaran distribusi barang dan bahan pokok. Apabila distribusi lancar maka inflasi juga akan dapat ditekan.
Pemerintah juga perlu menyalurkan sebagian dana untuk investasi infrastuktur. Sebab selama ini hal yang menaikkan inflasi IHK adalah ketidaklancaran distribusi barang dan bahan pokok. Apabila distribusi lancar maka inflasi juga akan dapat ditekan.
Laju inflasi
yang begitu tinggi, yang ditandai dengan melambungnya harga barang dan jasa, dikhawatirkan
mendorong masyarakat mengorbankan pendidikan dan kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan pokok. Kondisi itu bisa semakin menurunkan tingkat Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia sehingga daya saingnya semakin merosot.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih, mengatakan kepada Pembaruan di
Jakarta, Senin (7/11), kenaikan laju inflasi yang dibarengi dengan kenaikan
harga akan menyebabkan masyarakat memilih secara ketat pengeluaran rumah
tangganya.
Berkaitan dengan hal itu masyarakat
akan menempatkan kebutuhan pangan se- bagai prioritas utama dalam belanja rumah
tangga. Sedang kebutuhan lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, tidak
masuk dalam prioritas.
Untuk itu, Adiningsih mengimbau
pemerintah dan Bank Indonesia (BI) betul-betul bekerja keras meminimalisasi
dampak inflasi terhadap ekonomi, terutama di tingkat rumah tangga, dengan
memberikan insentif dan stimulus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dinilai cukup longgar pascakenaikan BBM.
2.2. DAMPAK
DARI INFLASI
Inflasi yang tinggi akan mengurangi
daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga akan menurun.
Adanya inflasi tentunya menjadi
kekhawatiran semua pihak, khususnya pada sektor ekonomi di tingkat mikro. Bila
melihat perkembangan inflasi nasional di bulan ini, secara parsial angka
kumulatif inflasi sekira 17 persen, sementara secara keseluruhan pada 2005 rata
rata kumulatif 10 persen. Sedangkan pihak pemerintah sendiri mengharapkan
angka-angka tersebut pada 2006 yang dapat ditekan menjadi rata-rata sekira 8
persen.
Bagi Bank Indonesia, munculnya angka
persentase ini dirasakan tinggi untuk menekannya melalui kebijakan uang ketat (tight
money policy).
Harapan BI dengan
adanya kebijakan setidaknya perputaran uang di tengah masyarakat dapat dikurangi.
Dan pengurangan dapat menekan angka inflasi. Kebijakan uang ketat ini bisa
berjalan efektif selama masyarakat komitmen memegang rupiah. Rupiah dirasakan
lebih untung jika dibandingkan memegang dolar Amerika Serikat.
Dampak lain, yakni
dengan semakin kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hasrat
menabung masyarakat dalam rupiah semakin tinggi. Pada akhirnya, investor asing
mau menanamkan investasinya ke dalam negeri. Jika semua berjalan mulus, tanpa
adanya gangguan faktor eksternal, strategi yang dijalankan Bank Indonesia akan
mampu menekan angkat, dan tingkat inflasi yang tengah berjalan.
Dalam menekan laju inflasi melalui tight
money policy ada beberapa faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya
inflasi.
1.
pasokan
kebutuhan dan kelancaran distribusinya, infrastruktur serta sarana
transportasi.
2.
perdagangan
luar negeri, peraturan kepabeanan serta sarana kepelabuhan.
3.
faktor musim,
bencana alam
4.
kondisi
moneter regional/internasional, kebijakan moneter federal reserve bank.
Masalah yang sangat pelik saat ini,
yakni pengangguran jauh lebih berbahaya dibanding penanganan masalah inflasi.
Persoalannya masalah pengangguran tidak bisa hanya diatasi dengan berbagai
kebijakan. Penyelesaiannya harus diimbangi dengan tindakan nyata dan rasional,
yakni mengembangkan dan memberdayakan pada sektor riil. Ini semua membutuhkan
dana investasi yang besar.
Dari perhitungan Bappenas dan BPS,
angka 1 persen pertumbuhan inflasi (growth rate) dibutuhkan dana
investasi sebesar Rp 100 triliun. Jika pemerintah menghendaki angka pertumbuhan
pada 2006 sebesar 6 persen, berarti dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 600
triliun. Dan sumber budget tersebut bisa dari pemerintah, perbankan dan
pengusaha dalam dan luar negeri. Tentunya jumlah tersebut cukup besar dan tak
sebanding dengan perkembangan ekonomi saat ini. Paling tidak, dengan estimasi
pemerintah itu, pada 2006 ini dapat terpenuhi, jika pemerintah tetap mengacu
pada target growth rate sebesar 6 persen.
Dari dasar estimasi perhitungan
rata-rata, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap sebanyak 250.000
tenaga kerja. Jadi kalau dikatakan growth rate pada 2006 sebesar 6
persen, penyerapan tenaga kerja akan mencampai sebanyak 1.500.000. Sedangkan
pada tingkat nasional pertambahan jumlah tenaga kerja pertahun sebanyak
1.600.000. Dengan demikian ada sekitar 100.000 tenaga kerja yang tidak
memperoleh pekerjaan. Mereka ini menjadi penganggur dan menambah rentetan
jumlah penganggur sebelumnya. Itu kalau pertumbuhan mencapai 6 persen. Jika
tidak tentu jumlah penyerapannya tidak demikian. Pada 2005, dimana growth rate
yang dicapai hanya sebesar 4,5 persen dan daya serap tenaga kerja hanya
1.125.000. Itu berarti terjadi kelebihan sebesar 475.000 tenaga kerja. Bisa
dibayangkan berapa besar jumlah angkatan kerja yang penganggur ditambah
tahun-tahun sebelumnya.
2.3. BAGAIMANA
MENGATASI INFLASI?
BI bisa
melakukan Kebijakan uang ketat meliputi :
1. peningkatan tingkat suku bunga;
2. penjualan surat berharga (SBI);
3. peningkatan cadangan kas;
4. pengetatan pemberian kredit
Dalam pemulihan perekonomian makro,
tim ekonomi pemerintah, harus mampu menciptakan kestabilan makro ekonomi,
dengan menekan inflation rate menjadi single digit, sekitar 8 persen. Makro
ekonomi yang menyangkut tiga komponen yaitu interest rate, inflation rate dan
exchange rate, yang semuanya saling ketergantungan dan saling mempengaruhi satu
sama lainnya.
Di sisi lain, dengan diturunkannya BI
rate, hal tersebut berpengaruh pada turunnya suku bunga perbankan dan akan
mendorong investor menanamkan investasi lebih banyak. Aktivitas perekonomian
terus berputar. Dengan demikian akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah
yang lebih besar secara bertahap, sehingga pendapatan masyarakat akan ikut
naik. Dalam rangka meningkatkan iklim investasi secara nasional guna
menanggulangi dan meningkatkan di berbagai sektor riil. Selain itu, pemerintah
semestinya memfokuskan Free Trade Zone (FTZ) atau Zona Perdagangan Bebas, yang
belum lama ini digagas Wapres Jusuf Kalla. Tidak kurang tujuh daerah baru yang
akan ditunjuk untuk itu. Salah satunya adalah Propinsi Sumatra Utara. Namun,
lokasinya belum ditetapkan. Namun sayang, pemerintah daerah setempat kurang
meresponsnya dengan alasan tak jelas atau mungkin ketidaksiapan pemda, sehingga
daerah ini akan kehilangan peluang untuk ditunjuk menjadi calon lokasi FTZ.
Adanya FTZ ini, semua ekonom sepakat
bahwa FTZ adalah salah satu pilihan upaya yang efektif mendinamisasi atau
bahkan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di satu kawasan. Para Perencana
Wilayah mempunyai banyak pilihan untuk itu. Sebut saja, penetapan satu kawasan
menjadi satu cluster bussines center (CBC), kawasan daerah pertumbuhan atau
bahkan dalam kerangka kerja sama multilateral seperti IMT-GT (Indonesia,
Malaysia, Thailand Growth Triangle, Segitiga Pertumbuhan Indonesia, Malaysia,
dan Thailand).
Demikian pula halnya dengan AFTA
(ASEAN Free Trade Area, daerah perdagangan bebas ASEAN). Dalam persfektif lokal
yang relatif sama, Batam juga dimaksudkan untuk itu. Dan kita bisa menyaksikan
betapa besar kontribusi Otorita Batam sebagai daerah kawasan industri dan
perdagangan bebas kepada kemajuan Provinsi Riau yang kemudian mampu mendorong
terbentuknya satu Provinsi baru, Kepulauan Riau.
Bentuk perdagangan bebas dalam bentuk
cluster kecil dalam satu negara, misalnya Batam (dulu ada juga Pulau Sabang)
atau antara beberapa negara seperti AFTA, APEC, dan NAFTA merupakan
implementasi daripada integrasi ekonomi yang bertujuan memacu atau
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sebagaimana diutarakan Kindledger dan
Linders (1978). Ada lima bentuk perdagangan yakni ; (1). Kawasan perdagangan
bebas, (2). Custom union, (3). Pasar bersama, (4). Economic union, dan (5).
Supranational union.
Dalam perspektif terbatas, kawasan
perdagangan bebas (FTZ), hanya mengambil sebagaian kecil daripada dimensi
integrasi ekonomi itu. Hal itu terutama dimaksudkan untuk memperluas pasar,
manfaat timbal balik dari perdagangan dan sebagai katalis untuk mencapai
pertumbuhan dan pembangunan tatanan perekonomian nasional.
Ketika terjadi inflasi masyarakat
akan menempatkan kebutuhan pangan se- bagai prioritas utama dalam belanja rumah
tangga. Sedang kebutuhan lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, tidak
masuk dalam prioritas.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah dan
Bank Indonesia (BI) betul-betul bekerja keras meminimalisasi dampak inflasi
terhadap ekonomi, terutama di tingkat rumah tangga, dengan memberikan insentif
dan stimulus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dinilai
cukup longgar pascakenaikan BBM.
Menanggapi,
pengaruh inflasi terhadap koreksi pertumbuhan ekonomi, Adiningsih mengatakan,
untuk saat ini belum terlalu signifikan semakin memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Dampaknya baru akan terasa pada semester I tahun 2006.
''Kalau melihat tren pertumbuhan
ekonomi turun terus, yang mana pada triwulan IV 2004 mencapai 6,7 persen,
kemudian pada triwulan I 2005 turun menjadi 6,2 persen, lalu 5,2 persen pada
triwulan II 2005. Apalagi dengan inflasi yang tinggi tentu pertumbuhannya
semakin melambat,'' katanya.
Dia berpendapat, sektor properti akan
paling terpukul akibat tingginya inflasi, yang pada periode Januari hingga
Oktober 2005 mencapai 15,6 persen dan inflasi tahunan (year on year)
menjadi 17,9 persen.
Terpukulnya sektor properti ini
karena selain tingginya harga bahan bangunan juga akan dihantam oleh dampak
lanjutan inflasi.
''Properti tidak hanya terpukul
karena kenaikan harga dan turunnya daya beli masyarakat, tetapi masih ditambah
dengan konsekuensi inflasi tinggi, yakni kenaikan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) yang tentu akan diimbangi dengan kenaikan suku bunga dana dan
suku bunga kredit. Apalagi, kredit-kredit properti rata-rata kredit jangka
panjang,'' katanya.
Menurut Adiningsih, inflasi pada
Oktober 2005 yang mencapai 8,7 persen, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, hampir memukul semua sektor
perekonomian mulai dari bisnis, investasi hingga konsumsi.
''Setelah properti bidang usaha yang
cukup besar terkena dampak inflasi adalah industri nonbahan pokok, seperti
industri hiburan, rekreasi, dan barang mewah,'' katanya.
Jenis industri tersebut sangat
bergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Sehingga dengan inflasi yang
tinggi mereka cenderung menunda pemenuhan kebutuhan tersebut.
Direktur PT Bank Tabungan Negara (BTN)
Siswanto yang diminta pendapatnya seputar dampak inflasi terhadap kemerosotan
kredit properti, mengatakan, kredit properti pada dasarnya mengikuti tren
pertumbuhan ekonomi secara umum.
''Kalau pertumbuhan ekonominya baik
tingkat permintaan terhadap kredit perumahan juga cukup tinggi. Demikian pula
sebaliknya, semakin lambat pertumbuhan ekonomi, semakin turun permintaan kredit
properti,'' kata Siswanto.
Kekhawatiran akan naiknya suku bunga
setelah pengumuman inflasi masih bisa diantisipasi perbankan, khususnya dalam
pemberian kredit ke sektor properti. Apalagi kalau suku bunga ke depan hanya
sekitar 16-18 persen. ''Kecuali suku bunga kredit properti sudah mencapai 30
persen, akan sulit bagi perbankan untuk menyalurkannya,'' katanya.
Pemerintah mengakui laju inflasi
Oktober 2005 terhadap Oktober 2004 (year on year) yang mencapai 17,89
persen di luar perkiraan. Pasalnya, pemerintah memprediksi tingkat inflasi year
on year berada pada kisaran 15-16 persen.
Kendati demikian, pemerintah
optimistis tingkat inflasi November dan Desember 2005 akan mengalami penurunan
walaupun masih ada tekanan terhadap inflasi seperti Natal dan Tahun Baru.
Hal itu dikatakan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Aburizal Bakrie dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu.
''Buat pemerintah, kenaikan itu jelas
lebih tinggi dari tingkat exercise. Exercise (kajian) pemerintah
inflasi year on year dibayangkan hanya sampai 15-16 persen, tapi
sekarang sudah sampai 17,89 persen,'' ujarnya.
Ia menjelaskan dalam dua bulan
terakhir ini pemerintah akan hati-hati terutama dalam menjaga pasokan makanan
dan distribusi agar inflasi dapat dijaga di bawah 1 persen.
Koordinasi pemerintah dan Bank
Indonesia (BI) ke depan harus lebih harmonis terutama untuk mengendalikan
ancaman inflasi di tahun 2008 mendatang. Perlunya mengendalikan inflasi agar
tingkat suku bunga acuan BI Rate yang turun ke-8 persen bisa
dipertahankan, sehingga investasi di sektor keuangan dan sektor riil lebih
bergairah.
Demikian dikemukakan, Direktur Retail
Banking PT Bank Mega Tbk, Kostaman Thayib kepada SP di Jakarta, Jumat
(7/12) menanggapi kebijakan bank sentral menurunkan BI Rate 25 basis
poin (0,25 persen) dari 8,25 persen menjadi 8 persen. Pengendalian APBN yang baik juga bisa menahan laju inflasi, yaitu dengan mengatur penerimaan dan pengeluaran yang berimbang, sehingga prediksi akan terjadinya inflasi dalam suatu aspek bisa diminimalisir dengan menaikkan anggaran untuk aspek tersebut.
Setiap negara
yang akan membangun memerlukan modal. Modal yang digunakan dapat berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam teori pembangunan ekonomi banyak
ditegaskan secara implisit tentang peranan modal dalam proses pembangunan.
Menurut Adam Smith, modal mempunyai peran sentral dalam proses pertumbuhan
output. Akumulasi modal sangat diperlukan untuk meningkatkan daya serap
perekonomian terhadap angkatan kerja. Semakin tinggi modal yang tersedia dalam
perekonomian, semakin tinggi pula kemampuan perekonomian tersebut menyerap
tenaga kerja.
Pasar modal merupakan alternatif
menggali pembiayaan pembangunan. Pasar modal memiliki peran besar bagi
perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus,
fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi
ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan pihak
yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana
(issuer), dengan adanya pasar modal pihak yang memiliki kelebihan dana dapat
menginvestasikan dananya tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return)
sedangkan pihak issuer (dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana
tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari
operasi perusahaan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena
pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return)
bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Pasar modal Indonesia dalam
perkembangannya telah menunjukkan sebagai bagian instrumen perekonomian, dimana
indikasi yang dihasilkannya banyak dipicu oleh para peneliti maupun praktisi
dalam melihat gambaran perekonomian Indonesia. Komitmen pemerintah Indonesia
terhadap peran pasar modal tercermin dalam undang-undang Republik Indonesia
nomor 8 tentang pasar modal. Dimana dinyatakan bahwa pasar modal mempunyai
peran yang strategis dalam pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber
pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat.
Sebagai salah satu instrumen
perekonomian maka pasar modal tidak terlepas dari pengaruh yang berkembang di
lingkungannya, baik yang terjadi di lingkungan ekonomi mikro yaitu peristiwa
atau keadaan para emiten, seperti laporan kinerja, pembagian deviden, perubahan
strategi atau perubahan strategis dalam rapat umum pemegang saham, akan menjadi
informasi yang menarik bagi para investor di pasar modal.
Selain lingkungan ekonomi mikro,
perubahan lingkungan yang dimotori oleh kebijakan-kebijakan makro, kebijakan
moneter, kebijakan fiskal maupun regulasi pemerintah dalam sektor riil dan
keuangan, akan pula mempengaruhi gejolak di pasar modal.
Menurunnya nilai tukar mata uang
negara-negara Asia Tenggara terhadap Dolar, yang dimulai dengan
terdepresiasinya nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar Amerika serikat, yang
kemudian diikuti oleh negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara termasuk
Indonesia, yang meroket dengan angka tertinggi 15.000,00 rupiah per Dolar.
Konsekuensinya menggetarkan sendi sosial ekonomi bangsa yaitu dengan meningkatnya
laju inflasi dan yang tertinggi terjadi pada Desember 1998. Meningkatnya laju
inflasi mengakibatkan menurunnya tingkat penjualan pada perusahaan-perusahaan
publik sehingga laba yang mereka terima juga menurun Sejak terjadinya krisis
moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap valuta domestik menurun. Padahal kepercayaan masyarakat
terhadap valuta domestik merupakan kunci maju mundurnya ekonomi suatu negara,
soalnya kepercayaan kepada mata uang dengan pelaksanaan pemerintahan atau
kondisi politik memiliki hubungan yang saling mempengaruhi (Makaliwe, Kontan 29
Januari 2001).
Kerugian yang dialami oleh perusahaan
publik sebagai akibat memebengkaknya kewajiban luar negerinya mengakibatkan
merosotnya kinerja fundamental perusahaan-perusahaan tersebut. Kemerosotan
kinerja fundamental perusahaan atau emiten ditanggapi negatif oleh investor
sebagaimana tercermin pada kemerosotan harga sahamnya dan indeksnya. Celakanya
hampir seluruh emiten di Bursa Efek Jakarta, menderita kerugian selisih kurs
karena memiliki hutang luar negeri yang mencapai 600 persen tersebut
Pada sektor moneter terjadi penurunan
kredibilitas bank sentral, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya. Dalam
kondisi tersebut salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan menaikkan
tingkat suku bunga bank, yang tujuannya adalah untuk menarik uang yang beredar
di masyarakat dalam waktu yang relatif cepat, akibat buruk yang ditimbulkan
dari kenaikan tingkat suku bunga simpanan ini mengakibatkan meningkatnya pula
tingkat suku bunga kredit oleh bank, sehingga biaya bunga yang ditangung oleh
para debitor yang sebagian besar pada sektor usaha menjadi semakin besar, hal
ini mengakibatkan penurunan tingkat laba bahkan merugi. Merosotnya indeks harga
saham gabungan mengakibatkan menurunnya kinerja dari pasar modal tersebut.
Sebab keberhasilan pasar modal dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran
sekuritas, hal ini dipengaruhi oleh permintan para investor akan sekuritas di
pasar modal, dan indeks bursa adalah pengukur dari tingkat pengembalian pasar
saham pada bursa efek jakarta.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
Jika suatu inflasi sudah diantisipasi (anticipated inflation), kita
bisa bisa siap-siap untuk mengkompensasi inflasi
itu. Misalnya, perbankan bisa mengubah bunganya atau karyawan bisa melakukan
negosiasi dengan
perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji otomatis yang menyesuaikan dengan
tingkat inflasi. Masalah
menjadi rumit jika inflasi itu datang tiba-tiba atau tak bisa diantisipasi
(unanticipated inflation).
Ambil contoh, pihak kreditur pasti akan rugi, sementara debitur
atau pengutang untung jika kreditur itu tak
bisa mengantisipasi inflasi dengan tepat. Ketidakpastian juga akan membuat
perusahaan dan konsumen
menunda konsumsinya. Ujung-ujungnya, ekonomi dalam jangka panjang akan terganggu. Selain
itu, daya beli orang yang memiliki gaji tetap seperti pensiunan juga pasti akan
merosot. Namun demikian,
jangan hanya melihat inflasi dari sudut pandang negatif. Sebab, sebenarnya
inflasi juga memberikan
sinyal-sinyal positif tentang perekonomian suatu negara.
Sejatinya, adanya inflasi merupakan
tanda bahwa ekonomi suatu negara sedang tumbuh. Bahkan, dalam kondisi tertentu,
inflasi yang terlalu
rendah (atau bahkan deflasi) sama buruknya dengan inflasi yang tinggi. Inflasi
yang rendah itu mungkin merupakan pertanda bahwa ekonomi sedang melemah.
Misalnya, inflasi yang rendah itu
muncul karena tingkat produksi perusahaan rendah atau konsumsi masyarakat melambat.
Inflasi itu akan menggerus keuntungan investasi para investor.
Jadi, investor harus hati-hati memilih produk investasi. Jika asal tubruk,
alih-alih berbiak, dana yang ditanamkan
oleh investor justru terancam menyusut.
Dampak inflasi terhadap portofolio investasi Anda sangat bergantung
pada jenis instrumen investasi yang
Anda miliki. Jika hanya berinvestasi di saham, Anda mestinya tak perlu terlalu
khawatir. Pasalnya, dalam jangka
panjang, pendapatan dan laba emiten saham akan tumbuh mengikuti inflasi.
Karenanya, dalam jangka
panjang, inflasi juga akan membuat harga saham selalu naik. Jadi, Anda tak
perlu khawatir inflasi itu
akan menggerus investasi saham Anda.Tetapi tentunya dengan syarat pemilihan
yang tepat terhadap
saham-saham yang dapat mengatasi resiko yang ada. Namun, ada pengecualian, saat
terjadi stag flasi.
Kombinasi ekonomi yang buruk dan peningkatan biaya produksi membuat
kinerja perusahaan itu juga
memburuk. Lain lagi
ceritanya investor yang berinvestasi di instrumen pendapatan tetap. Mereka ini
justru akan mengalami
dampak paling buruk dari inflasi. Ambil contoh, setahun yang lalu, seorang
investor menginvestasikan
Rp 1 miliar dalam sebuah obligasi yang memberikan imbal hasil 10% per tahun. Artinya,
saat ini, nilai investasi investor itu telah berkembang menjadi Rp 1,1 miliar.
Tapi, apakah keuntungan yang
Rp 100 juta itu benar-benar riil? Jawabannya tidak. Jika dalam setahun terakhir
inflasi positif, nilai
uang juga akan menyusut, termasuk keuntungan investor itu. Karenanya, kita juga
harus memperhitungkan dampak inflasi. Jika inflasi satu tahun terakhir
4.5%, artinya keuntungan riil investor itu
sebenarnya hanya 5.5%. Contoh diatas
menunjukkan perbedaan antara bunga nominal dan bunga riil. Bunga nominal adalah tingkat
pertumbuhan jumlah uang Anda. Adapun bunga riil adalah pertumbuhan riil dari
daya beli Anda. Dengan kata
lain, rumus bunga riil adalah: bunga nominal dikurangi dengan inflasi. Berikut
grafik pertumbuhan IHSG sepanjang tahun 2011 dan pertumbuhan saham-saham
unggulan di Bursa Efek
Indonesia dibandingkan dengan tingkat inflasi Indonesia tahun 2011.
Selama tahun 2011 lalu, IHSG yang diprediksi akan naik jauh, hingga
akhir Desember 2011 berada pada titik
3821,99 hanya naik 3,19% dibanding nilai terakhir tahun 2010.
Dengan IHSG yang cenderung lemah tersebut dan asumsi bahwa saham-saham
bergerak selaras dengan IHSG, sudah
pasti gain yang didapatkan pada tahun ini menjadi tidak berarti, terlalu kecil.
Namun ternyata, ada banyak saham-saham yang selama setahun ini mengalami
pertumbuhan yang signifikan. Kebanyakan
saham unggulan atau sering disebut saham-saham bluechip dengan fundamental yang
baik masih tetap aman, tetapi banyak pula saham dari second liner dan third
liner yang memberikan gain cukup
besar dalam keadaan yang kurang mendukung ini. Bursa
Efek Indonesia adalah ladang investasi yang sangat menjanjikan asal kita
memiliki pengetahuan dan tentunya
informasi mengenai pilihan saham-saham yang memiliki prestasi positif pada
tahun tahun sebelum dan
disepanjang tahun 2011 dan bahkan keyakinan kita akan prediksi pertumbuhan
usaha dari emiten.
Peringkat didasarkan pada besarnya kenaikan
harga saham mulai awal tahun 2011 hingga 30 Desember 2011. Saham blue
chip banyak diminati di
pasar karena walaupun terjadi fluktuasi harga, dalam jangka panjang saham ini biasanya memberikan
gain kepada investornya. Dibandingkan
tingkat inflasi Indonesia sampai dengan akhir tahun 2011 yang dilaporkan secara resmi
sebesar 3.79 % maka tentu sudah jelas bahwa investasi dengan memiliki
saham-saham yang memiliki
tingkat pertumbuhan yang melebihi laju inflasi adalah cara bijak dalam
berinvestasi saham di Bursa Efek Indonesia.
KESIMPULAN
Kita
tak bisa selalu mengatakan bahwa inflasi merupakan hal yang buruk ? Memahami
seluk-beluk investasi sangat penting bagi para investor. Sebab, inflasi juga
mempengaruhi nilai uang yang
diinvestasikan oleh investor.
Kesimpulan dari uraian dalam makalah ini
adalah :
·
Inflasi merupakan gejala kenaikan harga secara umum (artinya semua harga
terpengaruhi) oleh karena kelangkaan persediaan barang yang ada di pasaran.
Penyebab inflasi antara lain :
·
Kebijakan fiskal terlalu “gampangan” (loose). Artinya, kalau pemerintah
memerlukan uang maka ditempuh jalan yang mudah, yakni cetak saja uang baru ()
·
Kenaikan harga BBM yang diikuti
harga sembako yang disebabkan kelangkaan BBM atau sembako tersebut. Sebenarnya
hal ini disebabkan karena distribusi BBM atau sembako tersebut yang kurang
lancar.
·
Kenaikan biaya pendidikan
·
Menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, karena menurunnya kinerja
pasar modal
·
Ekspektasi masyarakat akibat kenaikan harga BBM, yakni dengan
tersendatnya perekonomian
·
Pengendalian APBN yang kurang baik , karena penerimaan dan pengeluaran
yang tak berimbang dalam suatu sector
·
Rencana Kenaikan gaji pegawai negeri
Dampak dari Inflasi :
·
Menurunnya kualitas SDM, karena pendidikan akan kurang diperhatikan
·
Harga barang naik, meskipun gaji naik
·
Daya beli masyarakat menurun, meskipun peredaran uang banyak
·
Hal yang bisa dilakukan untuk menahan laju inflasi :
·
Pengendalian APBN yang baik
·
Peningkatan tingkat suku bunga;
·
Penjualan surat berharga (SBI);
·
Peningkatan cadangan kas;
·
Pengetatan pemberian kredit
DAFTAR
PUSTAKA:
- Nur
Hidayati. “Laju inflasi: Pendapatan Masyarakat semakin tergerogoti.”
Kompas, Rabu, 2 April 2008 hal 21.
- Mirza
Adityaswara. ”Mengatasi Gejolak Pasar Keuangan”. Analis Perbankan dan
Pasar Modal. Kompas, Senin, 7 April 2008, hal 1.
- Femi Adi
S., Dwin Gideon S., dan A. Syalaby Ichsan. ”Mulai Pasang Kuda-Kuda Hadapi
Lonjakan Inflasi.” Kontan 28-XII, 11-17 April 2008,hal 34.
- Hendrika
Y., Novi Diah H., Aprillia ika. ”Kenaikan Masih Tertahan karena Orang
Butuh Makan. Cara pengusaha restoran mengakali kenaikan harga.”. Kontan
28-XII, 11 – 17 April 2008, hal 4.
- Markus
Sumartomdjon, Diah Megasari dan Yuwono T. ”Namanya Juga Butuh, Biar Mahal
tetap Diburu. Meneropong saham yang tahan terhadap guncangan inflasi.
Kontan 28_XII, 11-17 April 2008 hal 11.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Comment, Kritik & Saran untuk membangun