Random

Sabtu, 23 Juni 2012

TINGGINYA INFLASI PADA SEKTOR RIIL

Nama  : Rizky Abu Rizal
NPM   : 16110157
Kelas   : 2KA25


BAB 1
LATAR BELAKANG

Kalau kita mencermati berita di media akhir-akhir ini, kemungkinan akan membuat kecil hati dan timbul kekawatiran. Akankah hari esok masih lebih baik? Bagaimana jika tidak? Angka inflasi pada Maret 2008 dibanding dengan Maret 2007 (year on year) mencapai 8,17 persen, padahal saat bulan Maret 2007 inflasi tahunan hanya 6,6 persen. Pada bulan Maret 2008 angka inflasi sebesar 0,95 persen, dengan demikian laju inflasi pada tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai 3,41 persen. Didalam komponen index inflasi umum, inflasi bahan pangan sudah mencapai 13,6 persen.
Dari sisi pasar keuangan, gejolak dimulai sejak krisis kredit kepemilikan rumah di Amerika, yang telah membuat rugi puluhan miliar dollar Bank-bank internasional, seperti: Citigroup, UBS, Merril Lynch dan BearStearns. Kerugian Bank kelas dunia tersebut telah menyebabkan terjadi pengetatan di pasar keuangan internasional. Inflasi sedang menjadi momok di seluruh dunia karena kenaikan harga minyak bumi dan bahan pangan. Tren diversifikasi di dunia, dari sumber energi minyak bumi ke energi dari bahan pangan, telah menaikkan harga komoditas pangan, seperti: kelapa sawit, jagung dan gandum.
Di sektor riil, meningkatnya inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Sekitar 60 persen atau bahkan lebih, dari pengeluaran kalangan masyarakat ini akan tersedot untuk belanja makanan. Kenaikan harga makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen, akan berdampak pada penurunan kualitas hidup. Bagaimana dengan pengusaha skala kecil dan menengah?


BAB 2
PERMASALAHAN

2.1. BAGAIMANA TERJADINYA INFLASI?
Tingkat inflasi untuk bulan Oktober 2005 yang sangat tinggi itu (8,75%) masih membuat prihatin banyak kalangan. Karena ada yang disebut core inflation, atau inflasi inti, oleh Bank Indonesia yang besarnya sekitar 7-8% setahun maka kedua pengaruh inflasi ini secara agregatip menimbulkan inflasi lebih dari 15% setahun. Maka arti inflasi harus disikapi.
Arti atau definisi umum dari inflasi adalah gejala kenaikan harga secara umum (artinya semua harga terpengaruhi) oleh karena “terlalu banyak uang mengejar jumlah barang yang jumlahnya tidak bertambah”. Inflasi dalam artian ini adalah gejala effective demand yang terlalu besar, entah oleh karena akibat kebijakan fiskal (anggaran belanja pemerintah) atau oleh kebijakan moneter dari bank sentral. Misalnya, dalam masa pertama RI inflasinya tinggi sekali oleh karena kebijakan fiskal terlalu “gampangan” (loose). Artinya, kalau pemerintah memerlukan uang maka ditempuh jalan yang mudah, yakni cetak saja uang baru. Usaha untuk mengumpulkan pajak baru merupakan usaha serius di zaman yang mutakhir. Pada tahap berikutnya maka dalil untuk “mencetak saja uang kalau diperlukan pemerintah” dikoreksi. Pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah diusahakan dengan cara yang tidak langsung menuju ke pencetakan uang baru. Maka pada tahap itu menarik pinjaman luar negeri menjadi jalan keluar yang sering ditempuh oleh pemerintah. Ini sesuai dengan prinsip umum pembiayaan defisit anggaran belanja pemerintah yang non-inflator, yakni berhutang saja dari luar dan dalam negeri, atau/dan menjual asset negara. Menjual asset negara untuk menutup defisit juga merupakan upaya yang lebih mutakhir, yakni dengan menjual BUMN, entah sebagian sahamnya atau secara keseluruhan (privatisasi).

Bank Indonesia sebagai bank sentral sekarang mempunyai misi tunggal, yakni menjaga nilai rupiah, artinya sekuat tenaga berusaha mengekang inflasi. Kalau ada tekanan inflasi yang meninggi maka BI menaikkan suku bunganya (BI rate atau SBI) sehingga mengerem pengeluaran kredit baru oleh sistim perbankan. Akan tetapi kalau inflasi tetap memuncak maka BI menghadapi dilema, seperti sekarang ini juga.
Secara umum terdapat dua jenis inflasi yakni kenaikan harga Indeks Harga Konsumen (IHK) yang merupakan headline inflation dan inflasi inti (core inflation). Kenaikan harga BBM merupakan faktor administered price atau kenaikan harga yang dipicu oleh kebijakan pemerintah.
Masalahnya, salah satu yang bisa memicu kenaikan inflasi inti itu adalah ekspektasi masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Yang terjadi seringkali kenaikan BBM diikuti dengan kenaikan harga barang-barang dan jasa, termasuk yang tidak terkait langsung dengan kenaikan BBM.
Pemerintah juga perlu menyalurkan sebagian dana untuk investasi infrastuktur. Sebab selama ini hal yang menaikkan inflasi IHK adalah ketidaklancaran distribusi barang dan bahan pokok. Apabila distribusi lancar maka inflasi juga akan dapat ditekan.
Laju inflasi yang begitu tinggi, yang ditandai dengan melambungnya harga barang dan jasa, dikhawatirkan mendorong masyarakat mengorbankan pendidikan dan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kondisi itu bisa semakin menurunkan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sehingga daya saingnya semakin merosot.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih, mengatakan kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (7/11), kenaikan laju inflasi yang dibarengi dengan kenaikan harga akan menyebabkan masyarakat memilih secara ketat pengeluaran rumah tangganya.
Berkaitan dengan hal itu masyarakat akan menempatkan kebutuhan pangan se- bagai prioritas utama dalam belanja rumah tangga. Sedang kebutuhan lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, tidak masuk dalam prioritas.
Untuk itu, Adiningsih mengimbau pemerintah dan Bank Indonesia (BI) betul-betul bekerja keras meminimalisasi dampak inflasi terhadap ekonomi, terutama di tingkat rumah tangga, dengan memberikan insentif dan stimulus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dinilai cukup longgar pascakenaikan BBM.

2.2. DAMPAK DARI INFLASI

Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga akan menurun.
Adanya inflasi tentunya menjadi kekhawatiran semua pihak, khususnya pada sektor ekonomi di tingkat mikro. Bila melihat perkembangan inflasi nasional di bulan ini, secara parsial angka kumulatif inflasi sekira 17 persen, sementara secara keseluruhan pada 2005 rata rata kumulatif 10 persen. Sedangkan pihak pemerintah sendiri mengharapkan angka-angka tersebut pada 2006 yang dapat ditekan menjadi rata-rata sekira 8 persen.
Bagi Bank Indonesia, munculnya angka persentase ini dirasakan tinggi untuk menekannya melalui kebijakan uang ketat (tight money policy).
Harapan BI dengan adanya kebijakan setidaknya perputaran uang di tengah masyarakat dapat dikurangi. Dan pengurangan dapat menekan angka inflasi. Kebijakan uang ketat ini bisa berjalan efektif selama masyarakat komitmen memegang rupiah. Rupiah dirasakan lebih untung jika dibandingkan memegang dolar Amerika Serikat.
Dampak lain, yakni dengan semakin kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hasrat menabung masyarakat dalam rupiah semakin tinggi. Pada akhirnya, investor asing mau menanamkan investasinya ke dalam negeri. Jika semua berjalan mulus, tanpa adanya gangguan faktor eksternal, strategi yang dijalankan Bank Indonesia akan mampu menekan angkat, dan tingkat inflasi yang tengah berjalan.
Dalam menekan laju inflasi melalui tight money policy ada beberapa faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya inflasi.
1.      pasokan kebutuhan dan kelancaran distribusinya, infrastruktur serta sarana transportasi.
2.      perdagangan luar negeri, peraturan kepabeanan serta sarana kepelabuhan.
3.      faktor musim, bencana alam
4.      kondisi moneter regional/internasional, kebijakan moneter federal reserve bank.
Masalah yang sangat pelik saat ini, yakni pengangguran jauh lebih berbahaya dibanding penanganan masalah inflasi. Persoalannya masalah pengangguran tidak bisa hanya diatasi dengan berbagai kebijakan. Penyelesaiannya harus diimbangi dengan tindakan nyata dan rasional, yakni mengembangkan dan memberdayakan pada sektor riil. Ini semua membutuhkan dana investasi yang besar.
Dari perhitungan Bappenas dan BPS, angka 1 persen pertumbuhan inflasi (growth rate) dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 100 triliun. Jika pemerintah menghendaki angka pertumbuhan pada 2006 sebesar 6 persen, berarti dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 600 triliun. Dan sumber budget tersebut bisa dari pemerintah, perbankan dan pengusaha dalam dan luar negeri. Tentunya jumlah tersebut cukup besar dan tak sebanding dengan perkembangan ekonomi saat ini. Paling tidak, dengan estimasi pemerintah itu, pada 2006 ini dapat terpenuhi, jika pemerintah tetap mengacu pada target growth rate sebesar 6 persen.
Dari dasar estimasi perhitungan rata-rata, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap sebanyak 250.000 tenaga kerja. Jadi kalau dikatakan growth rate pada 2006 sebesar 6 persen, penyerapan tenaga kerja akan mencampai sebanyak 1.500.000. Sedangkan pada tingkat nasional pertambahan jumlah tenaga kerja pertahun sebanyak 1.600.000. Dengan demikian ada sekitar 100.000 tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Mereka ini menjadi penganggur dan menambah rentetan jumlah penganggur sebelumnya. Itu kalau pertumbuhan mencapai 6 persen. Jika tidak tentu jumlah penyerapannya tidak demikian. Pada 2005, dimana growth rate yang dicapai hanya sebesar 4,5 persen dan daya serap tenaga kerja hanya 1.125.000. Itu berarti terjadi kelebihan sebesar 475.000 tenaga kerja. Bisa dibayangkan berapa besar jumlah angkatan kerja yang penganggur ditambah tahun-tahun sebelumnya.

2.3. BAGAIMANA MENGATASI INFLASI?

BI bisa melakukan Kebijakan uang ketat meliputi :
1.      peningkatan tingkat suku bunga;
2.      penjualan surat berharga (SBI);
3.      peningkatan cadangan kas;
4.      pengetatan pemberian kredit

Dalam pemulihan perekonomian makro, tim ekonomi pemerintah, harus mampu menciptakan kestabilan makro ekonomi, dengan menekan inflation rate menjadi single digit, sekitar 8 persen. Makro ekonomi yang menyangkut tiga komponen yaitu interest rate, inflation rate dan exchange rate, yang semuanya saling ketergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Di sisi lain, dengan diturunkannya BI rate, hal tersebut berpengaruh pada turunnya suku bunga perbankan dan akan mendorong investor menanamkan investasi lebih banyak. Aktivitas perekonomian terus berputar. Dengan demikian akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar secara bertahap, sehingga pendapatan masyarakat akan ikut naik. Dalam rangka meningkatkan iklim investasi secara nasional guna menanggulangi dan meningkatkan di berbagai sektor riil. Selain itu, pemerintah semestinya memfokuskan Free Trade Zone (FTZ) atau Zona Perdagangan Bebas, yang belum lama ini digagas Wapres Jusuf Kalla. Tidak kurang tujuh daerah baru yang akan ditunjuk untuk itu. Salah satunya adalah Propinsi Sumatra Utara. Namun, lokasinya belum ditetapkan. Namun sayang, pemerintah daerah setempat kurang meresponsnya dengan alasan tak jelas atau mungkin ketidaksiapan pemda, sehingga daerah ini akan kehilangan peluang untuk ditunjuk menjadi calon lokasi FTZ.
Adanya FTZ ini, semua ekonom sepakat bahwa FTZ adalah salah satu pilihan upaya yang efektif mendinamisasi atau bahkan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di satu kawasan. Para Perencana Wilayah mempunyai banyak pilihan untuk itu. Sebut saja, penetapan satu kawasan menjadi satu cluster bussines center (CBC), kawasan daerah pertumbuhan atau bahkan dalam kerangka kerja sama multilateral seperti IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle, Segitiga Pertumbuhan Indonesia, Malaysia, dan Thailand).
Demikian pula halnya dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area, daerah perdagangan bebas ASEAN). Dalam persfektif lokal yang relatif sama, Batam juga dimaksudkan untuk itu. Dan kita bisa menyaksikan betapa besar kontribusi Otorita Batam sebagai daerah kawasan industri dan perdagangan bebas kepada kemajuan Provinsi Riau yang kemudian mampu mendorong terbentuknya satu Provinsi baru, Kepulauan Riau.
Bentuk perdagangan bebas dalam bentuk cluster kecil dalam satu negara, misalnya Batam (dulu ada juga Pulau Sabang) atau antara beberapa negara seperti AFTA, APEC, dan NAFTA merupakan implementasi daripada integrasi ekonomi yang bertujuan memacu atau mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sebagaimana diutarakan Kindledger dan Linders (1978). Ada lima bentuk perdagangan yakni ; (1). Kawasan perdagangan bebas, (2). Custom union, (3). Pasar bersama, (4). Economic union, dan (5). Supranational union.
Dalam perspektif terbatas, kawasan perdagangan bebas (FTZ), hanya mengambil sebagaian kecil daripada dimensi integrasi ekonomi itu. Hal itu terutama dimaksudkan untuk memperluas pasar, manfaat timbal balik dari perdagangan dan sebagai katalis untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan tatanan perekonomian nasional.
Ketika terjadi inflasi masyarakat akan menempatkan kebutuhan pangan se- bagai prioritas utama dalam belanja rumah tangga. Sedang kebutuhan lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, tidak masuk dalam prioritas.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) betul-betul bekerja keras meminimalisasi dampak inflasi terhadap ekonomi, terutama di tingkat rumah tangga, dengan memberikan insentif dan stimulus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dinilai cukup longgar pascakenaikan BBM.
Menanggapi, pengaruh inflasi terhadap koreksi pertumbuhan ekonomi, Adiningsih mengatakan, untuk saat ini belum terlalu signifikan semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi. Dampaknya baru akan terasa pada semester I tahun 2006.
''Kalau melihat tren pertumbuhan ekonomi turun terus, yang mana pada triwulan IV 2004 mencapai 6,7 persen, kemudian pada triwulan I 2005 turun menjadi 6,2 persen, lalu 5,2 persen pada triwulan II 2005. Apalagi dengan inflasi yang tinggi tentu pertumbuhannya semakin melambat,'' katanya.
Dia berpendapat, sektor properti akan paling terpukul akibat tingginya inflasi, yang pada periode Januari hingga Oktober 2005 mencapai 15,6 persen dan inflasi tahunan (year on year) menjadi 17,9 persen.
Terpukulnya sektor properti ini karena selain tingginya harga bahan bangunan juga akan dihantam oleh dampak lanjutan inflasi.
''Properti tidak hanya terpukul karena kenaikan harga dan turunnya daya beli masyarakat, tetapi masih ditambah dengan konsekuensi inflasi tinggi, yakni kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tentu akan diimbangi dengan kenaikan suku bunga dana dan suku bunga kredit. Apalagi, kredit-kredit properti rata-rata kredit jangka panjang,'' katanya.
Menurut Adiningsih, inflasi pada Oktober 2005 yang mencapai 8,7 persen, yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, hampir memukul semua sektor perekonomian mulai dari bisnis, investasi hingga konsumsi.
''Setelah properti bidang usaha yang cukup besar terkena dampak inflasi adalah industri nonbahan pokok, seperti industri hiburan, rekreasi, dan barang mewah,'' katanya.
Jenis industri tersebut sangat bergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Sehingga dengan inflasi yang tinggi mereka cenderung menunda pemenuhan kebutuhan tersebut.
Direktur PT Bank Tabungan Negara (BTN) Siswanto yang diminta pendapatnya seputar dampak inflasi terhadap kemerosotan kredit properti, mengatakan, kredit properti pada dasarnya mengikuti tren pertumbuhan ekonomi secara umum.
''Kalau pertumbuhan ekonominya baik tingkat permintaan terhadap kredit perumahan juga cukup tinggi. Demikian pula sebaliknya, semakin lambat pertumbuhan ekonomi, semakin turun permintaan kredit properti,'' kata Siswanto.
Kekhawatiran akan naiknya suku bunga setelah pengumuman inflasi masih bisa diantisipasi perbankan, khususnya dalam pemberian kredit ke sektor properti. Apalagi kalau suku bunga ke depan hanya sekitar 16-18 persen. ''Kecuali suku bunga kredit properti sudah mencapai 30 persen, akan sulit bagi perbankan untuk menyalurkannya,'' katanya.
Pemerintah mengakui laju inflasi Oktober 2005 terhadap Oktober 2004 (year on year) yang mencapai 17,89 persen di luar perkiraan. Pasalnya, pemerintah memprediksi tingkat inflasi year on year berada pada kisaran 15-16 persen.
Kendati demikian, pemerintah optimistis tingkat inflasi November dan Desember 2005 akan mengalami penurunan walaupun masih ada tekanan terhadap inflasi seperti Natal dan Tahun Baru.
Hal itu dikatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Aburizal Bakrie dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, pekan lalu.
''Buat pemerintah, kenaikan itu jelas lebih tinggi dari tingkat exercise. Exercise (kajian) pemerintah inflasi year on year dibayangkan hanya sampai 15-16 persen, tapi sekarang sudah sampai 17,89 persen,'' ujarnya.
Ia menjelaskan dalam dua bulan terakhir ini pemerintah akan hati-hati terutama dalam menjaga pasokan makanan dan distribusi agar inflasi dapat dijaga di bawah 1 persen.
Koordinasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) ke depan harus lebih harmonis terutama untuk mengendalikan ancaman inflasi di tahun 2008 mendatang. Perlunya mengendalikan inflasi agar tingkat suku bunga acuan BI Rate yang turun ke-8 persen bisa dipertahankan, sehingga investasi di sektor keuangan dan sektor riil lebih bergairah.
Demikian dikemukakan, Direktur Retail Banking PT Bank Mega Tbk, Kostaman Thayib kepada SP di Jakarta, Jumat (7/12) menanggapi kebijakan bank sentral menurunkan BI Rate 25 basis poin (0,25 persen) dari 8,25 persen menjadi 8 persen.
Pengendalian APBN yang baik juga bisa menahan laju inflasi, yaitu dengan mengatur penerimaan dan pengeluaran yang berimbang, sehingga prediksi akan terjadinya inflasi dalam suatu aspek bisa diminimalisir dengan menaikkan anggaran untuk aspek tersebut.
Setiap negara yang akan membangun memerlukan modal. Modal yang digunakan dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam teori pembangunan ekonomi banyak ditegaskan secara implisit tentang peranan modal dalam proses pembangunan. Menurut Adam Smith, modal mempunyai peran sentral dalam proses pertumbuhan output. Akumulasi modal sangat diperlukan untuk meningkatkan daya serap perekonomian terhadap angkatan kerja. Semakin tinggi modal yang tersedia dalam perekonomian, semakin tinggi pula kemampuan perekonomian tersebut menyerap tenaga kerja.
Pasar modal merupakan alternatif menggali pembiayaan pembangunan. Pasar modal memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar menyediakan fasilitas atau wahana yang mempertemukan pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer), dengan adanya pasar modal pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dananya tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return) sedangkan pihak issuer (dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Pasar modal Indonesia dalam perkembangannya telah menunjukkan sebagai bagian instrumen perekonomian, dimana indikasi yang dihasilkannya banyak dipicu oleh para peneliti maupun praktisi dalam melihat gambaran perekonomian Indonesia. Komitmen pemerintah Indonesia terhadap peran pasar modal tercermin dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tentang pasar modal. Dimana dinyatakan bahwa pasar modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat.
Sebagai salah satu instrumen perekonomian maka pasar modal tidak terlepas dari pengaruh yang berkembang di lingkungannya, baik yang terjadi di lingkungan ekonomi mikro yaitu peristiwa atau keadaan para emiten, seperti laporan kinerja, pembagian deviden, perubahan strategi atau perubahan strategis dalam rapat umum pemegang saham, akan menjadi informasi yang menarik bagi para investor di pasar modal.
Selain lingkungan ekonomi mikro, perubahan lingkungan yang dimotori oleh kebijakan-kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal maupun regulasi pemerintah dalam sektor riil dan keuangan, akan pula mempengaruhi gejolak di pasar modal.
Menurunnya nilai tukar mata uang negara-negara Asia Tenggara terhadap Dolar, yang dimulai dengan terdepresiasinya nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar Amerika serikat, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, yang meroket dengan angka tertinggi 15.000,00 rupiah per Dolar. Konsekuensinya menggetarkan sendi sosial ekonomi bangsa yaitu dengan meningkatnya laju inflasi dan yang tertinggi terjadi pada Desember 1998. Meningkatnya laju inflasi mengakibatkan menurunnya tingkat penjualan pada perusahaan-perusahaan publik sehingga laba yang mereka terima juga menurun Sejak terjadinya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap valuta domestik menurun. Padahal kepercayaan masyarakat terhadap valuta domestik merupakan kunci maju mundurnya ekonomi suatu negara, soalnya kepercayaan kepada mata uang dengan pelaksanaan pemerintahan atau kondisi politik memiliki hubungan yang saling mempengaruhi (Makaliwe, Kontan 29 Januari 2001).
Kerugian yang dialami oleh perusahaan publik sebagai akibat memebengkaknya kewajiban luar negerinya mengakibatkan merosotnya kinerja fundamental perusahaan-perusahaan tersebut. Kemerosotan kinerja fundamental perusahaan atau emiten ditanggapi negatif oleh investor sebagaimana tercermin pada kemerosotan harga sahamnya dan indeksnya. Celakanya hampir seluruh emiten di Bursa Efek Jakarta, menderita kerugian selisih kurs karena memiliki hutang luar negeri yang mencapai 600 persen tersebut
Pada sektor moneter terjadi penurunan kredibilitas bank sentral, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya. Dalam kondisi tersebut salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga bank, yang tujuannya adalah untuk menarik uang yang beredar di masyarakat dalam waktu yang relatif cepat, akibat buruk yang ditimbulkan dari kenaikan tingkat suku bunga simpanan ini mengakibatkan meningkatnya pula tingkat suku bunga kredit oleh bank, sehingga biaya bunga yang ditangung oleh para debitor yang sebagian besar pada sektor usaha menjadi semakin besar, hal ini mengakibatkan penurunan tingkat laba bahkan merugi. Merosotnya indeks harga saham gabungan mengakibatkan menurunnya kinerja dari pasar modal tersebut. Sebab keberhasilan pasar modal dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran sekuritas, hal ini dipengaruhi oleh permintan para investor akan sekuritas di pasar modal, dan indeks bursa adalah pengukur dari tingkat pengembalian pasar saham pada bursa efek jakarta.

BAB III

PEMECAHAN MASALAH


Jika suatu inflasi sudah diantisipasi (anticipated inflation), kita bisa bisa siap-siap untuk mengkompensasi inflasi itu. Misalnya, perbankan bisa mengubah bunganya atau karyawan bisa melakukan negosiasi dengan perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji otomatis yang menyesuaikan dengan tingkat inflasi. Masalah menjadi rumit jika inflasi itu datang tiba-tiba atau tak bisa diantisipasi (unanticipated inflation).

Ambil contoh, pihak kreditur pasti akan rugi, sementara debitur atau pengutang untung jika kreditur itu tak bisa mengantisipasi inflasi dengan tepat. Ketidakpastian juga akan membuat perusahaan dan konsumen menunda konsumsinya. Ujung-ujungnya, ekonomi dalam jangka panjang akan terganggu. Selain itu, daya beli orang yang memiliki gaji tetap seperti pensiunan juga pasti akan merosot. Namun demikian, jangan hanya melihat inflasi dari sudut pandang negatif. Sebab, sebenarnya inflasi juga memberikan sinyal-sinyal positif tentang perekonomian suatu negara.

Sejatinya, adanya inflasi merupakan tanda bahwa ekonomi suatu negara sedang tumbuh. Bahkan, dalam kondisi tertentu, inflasi yang terlalu rendah (atau bahkan deflasi) sama buruknya dengan inflasi yang tinggi. Inflasi yang rendah itu mungkin merupakan pertanda bahwa ekonomi sedang melemah. Misalnya, inflasi yang rendah itu muncul karena tingkat produksi perusahaan rendah atau konsumsi masyarakat melambat.

Inflasi itu akan menggerus keuntungan investasi para investor. Jadi, investor harus hati-hati memilih produk investasi. Jika asal tubruk, alih-alih berbiak, dana yang ditanamkan oleh investor justru terancam menyusut.

Dampak inflasi terhadap portofolio investasi Anda sangat bergantung pada jenis instrumen investasi yang Anda miliki. Jika hanya berinvestasi di saham, Anda mestinya tak perlu terlalu khawatir. Pasalnya, dalam jangka panjang, pendapatan dan laba emiten saham akan tumbuh mengikuti inflasi. Karenanya, dalam jangka panjang, inflasi juga akan membuat harga saham selalu naik. Jadi, Anda tak perlu khawatir inflasi itu akan menggerus investasi saham Anda.Tetapi tentunya dengan syarat pemilihan yang tepat terhadap saham-saham yang dapat mengatasi resiko yang ada. Namun, ada pengecualian, saat terjadi stag flasi.

Kombinasi ekonomi yang buruk dan peningkatan biaya produksi membuat kinerja perusahaan itu juga memburuk. Lain lagi ceritanya investor yang berinvestasi di instrumen pendapatan tetap. Mereka ini justru akan mengalami dampak paling buruk dari inflasi. Ambil contoh, setahun yang lalu, seorang investor menginvestasikan Rp 1 miliar dalam sebuah obligasi yang memberikan imbal hasil 10% per tahun. Artinya, saat ini, nilai investasi investor itu telah berkembang menjadi Rp 1,1 miliar. Tapi, apakah keuntungan yang Rp 100 juta itu benar-benar riil? Jawabannya tidak. Jika dalam setahun terakhir inflasi positif, nilai uang juga akan menyusut, termasuk keuntungan investor itu. Karenanya, kita juga harus memperhitungkan dampak inflasi. Jika inflasi satu tahun terakhir 4.5%, artinya keuntungan riil investor itu sebenarnya hanya 5.5%. Contoh diatas menunjukkan perbedaan antara bunga nominal dan bunga riil. Bunga nominal adalah tingkat pertumbuhan jumlah uang Anda. Adapun bunga riil adalah pertumbuhan riil dari daya beli Anda. Dengan kata lain, rumus bunga riil adalah: bunga nominal dikurangi dengan inflasi. Berikut grafik pertumbuhan IHSG sepanjang tahun 2011 dan pertumbuhan saham-saham unggulan di Bursa Efek Indonesia dibandingkan dengan tingkat inflasi Indonesia tahun 2011.

Selama tahun 2011 lalu, IHSG yang diprediksi akan naik jauh, hingga akhir Desember 2011 berada pada titik 3821,99 hanya naik 3,19% dibanding nilai terakhir tahun 2010.
Dengan IHSG yang cenderung lemah tersebut dan asumsi bahwa saham-saham bergerak selaras dengan IHSG, sudah pasti gain yang didapatkan pada tahun ini menjadi tidak berarti, terlalu kecil. Namun ternyata, ada banyak saham-saham yang selama setahun ini mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kebanyakan saham unggulan atau sering disebut saham-saham bluechip dengan fundamental yang baik masih tetap aman, tetapi banyak pula saham dari second liner dan third liner yang memberikan gain cukup besar dalam keadaan yang kurang mendukung ini. Bursa Efek Indonesia adalah ladang investasi yang sangat menjanjikan asal kita memiliki pengetahuan dan tentunya informasi mengenai pilihan saham-saham yang memiliki prestasi positif pada tahun tahun sebelum dan disepanjang tahun 2011 dan bahkan keyakinan kita akan prediksi pertumbuhan usaha dari emiten.

Peringkat didasarkan pada besarnya kenaikan harga saham mulai awal tahun 2011 hingga 30 Desember 2011. Saham blue chip banyak diminati di pasar karena walaupun terjadi fluktuasi harga, dalam jangka panjang saham ini biasanya memberikan gain kepada investornya. Dibandingkan tingkat inflasi Indonesia sampai dengan akhir tahun 2011 yang dilaporkan secara resmi sebesar 3.79 % maka tentu sudah jelas bahwa investasi dengan memiliki saham-saham yang memiliki tingkat pertumbuhan yang melebihi laju inflasi adalah cara bijak dalam
berinvestasi saham di Bursa Efek Indonesia.


KESIMPULAN

Kita tak bisa selalu mengatakan bahwa inflasi merupakan hal yang buruk ? Memahami seluk-beluk investasi sangat penting bagi para investor. Sebab, inflasi juga mempengaruhi nilai uang yang diinvestasikan oleh investor.
Kesimpulan dari uraian dalam makalah ini adalah :

·         Inflasi merupakan gejala kenaikan harga secara umum (artinya semua harga terpengaruhi) oleh karena kelangkaan persediaan barang yang ada di pasaran.

    Penyebab inflasi antara lain :
·         Kebijakan fiskal terlalu “gampangan” (loose). Artinya, kalau pemerintah memerlukan uang maka ditempuh jalan yang mudah, yakni cetak saja uang baru ()
·          Kenaikan harga BBM yang diikuti harga sembako yang disebabkan kelangkaan BBM atau sembako tersebut. Sebenarnya hal ini disebabkan karena distribusi BBM atau sembako tersebut yang kurang lancar.
·         Kenaikan biaya pendidikan
·         Menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, karena menurunnya kinerja pasar modal
·         Ekspektasi masyarakat akibat kenaikan harga BBM, yakni dengan tersendatnya perekonomian
·         Pengendalian APBN yang kurang baik , karena penerimaan dan pengeluaran yang tak berimbang dalam suatu sector
·         Rencana Kenaikan gaji pegawai negeri

    Dampak dari Inflasi :

·         Menurunnya kualitas SDM, karena pendidikan akan kurang diperhatikan
·         Harga barang naik, meskipun gaji naik
·         Daya beli masyarakat menurun, meskipun peredaran uang banyak
·         Hal yang bisa dilakukan untuk menahan laju inflasi :
·         Pengendalian APBN yang baik
·         Peningkatan tingkat suku bunga;
·         Penjualan surat berharga (SBI);
·         Peningkatan cadangan kas;
·         Pengetatan pemberian kredit


DAFTAR PUSTAKA:
  1. Nur Hidayati. “Laju inflasi: Pendapatan Masyarakat semakin tergerogoti.” Kompas, Rabu, 2 April 2008 hal 21.
  2. Mirza Adityaswara. ”Mengatasi Gejolak Pasar Keuangan”. Analis Perbankan dan Pasar Modal. Kompas, Senin, 7 April 2008, hal 1.
  3. Femi Adi S., Dwin Gideon S., dan A. Syalaby Ichsan. ”Mulai Pasang Kuda-Kuda Hadapi Lonjakan Inflasi.” Kontan 28-XII, 11-17 April 2008,hal 34.
  4. Hendrika Y., Novi Diah H., Aprillia ika. ”Kenaikan Masih Tertahan karena Orang Butuh Makan. Cara pengusaha restoran mengakali kenaikan harga.”. Kontan 28-XII, 11 – 17 April 2008, hal 4.
  5. Markus Sumartomdjon, Diah Megasari dan Yuwono T. ”Namanya Juga Butuh, Biar Mahal tetap Diburu. Meneropong saham yang tahan terhadap guncangan inflasi. Kontan 28_XII, 11-17 April 2008 hal 11.






0 komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Comment, Kritik & Saran untuk membangun

News Studentsite

Gunadarma BAAK News

0 "SELAMAT DATANG DI RIZkY BLOG'Z" 1 2 3 4